
Oleh: Salahuddin Wahid
Pendidikan Islam di Nusantara
dimulai pada abad ke-9 di Barus, dekat Sibolga, ketika banyak orang LN,
termasuk ulama, datang ke sana. Daya tarik utama bagi pendatang itu adalah
produksi getah pohon barus atau kapur barus yang dijadikan wewangian, berbeda
dengan kamper yang kita kenal sekarang.
Tahun 1400-1680 adalah masa
puncak perdagangan rempah-rempah yang tergambar pada jumlah dan ukuran kapal.
Masa tersebut merupakan masa kejayaan Islam Melayu Nusantara. Salah satu aspek
yang perlu dicatat adalah ''proses pembentukan kebudayaan Melayu modern''
ketika bahasa Arab menjadi acuan utama bagi pemilihan kata-kata dan adanya
tulisan Arab Melayu yang disebut huruf Jawi. Bahasa Melayu menjadi lingua
franca kegiatan perdagangan dan politik di Nusantara.
Menurut Anthony Johns, perubahan
masyarakat Melayu menjadi muslim merupakan peristiwa yang menakjubkan. Pertama,
berlangsung saat imperium Islam mengalami kemunduran. Kedua, perubahan agama di
wilayah Melayu itu berlangsung cepat tanpa dukungan kekuatan politik atau
militer. Ketiga, jumlah penduduk yang berubah agama dari Hindu menjadi muslim
mencapai 89 persen dari seluruh penduduk Melayu Nusantara. Kunci perubahan itu
adalah pesantren.
Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419
di Gresik) dipandang sebagai gurunya guru dari tradisi pesantren. Pesantren
tertua dan terkenal di Jawa adalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo yang
didirikan pada abad ke-15 oleh Kiai Hasan Besari. Santrinya yang terkenal
adalah Ronggowarsito. Pesantren tertua yang masih aktif sampai kini di Jawa
adalah Pesantren Sidogiri di Pasuruan yang didirikan pada 1745. Selanjutnya
adalah Pesantren Jamsaren Solo (1750); Pesantren Miftahul Huda Gading, Malang
(1768); serta Pesantren Buntet, Cirebon (1785). Sejumlah pesantren terkenal
didirikan belakangan, yakni Pesantren Tebuireng (1899), Pesantren Lirboyo
(1910), dan Pesantren Gontor (1926).
Pendidikan Barat v Pendidikan
Islam
Lembaga pendidikan didirikan
Hindia Belanda pada awal 1840-an atas saran Snouck Hurgronye. Tujuannya,
memperoleh tenaga untuk keperluan pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan
Belanda. Juga, menandingi pengaruh pesantren yang menyulitkan pemerintah kolonial
Belanda. Menurut Snouck Hurgronye, kebudayaan wilayah jajahan perlu dipadukan
dengan kebudayaan Belanda. Pemerintah kolonial mendidik kaum elite Indonesia
agar secara umum berbudaya Belanda. Sistem pendidikan Belanda adalah sarana
paling baik untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan Islam di wilayah Hindia
Belanda.
Para pemuda terdidik itu
berkumpul di Jakarta dalam Kongres Pemuda kedua (1928) dan membuat kesepakatan
yang kelak disebut Sumpah Pemuda. I
Sejumlah tokoh pesantren ikut
dalam BPUPKI dan PPKI yang menyiapkan rancangan UUD. Tokoh-tokoh pesantren
membentuk Lasykar Hisbullah yang menjadi salah satu unsur dalam pembentukan
TNI. Tentara Belanda kembali ke Indonesia dengan mendompleng Sekutu yang merasa
menguasai eks Hindia Belanda karena Jepang menyerah kepada Sekutu. Menghadapi
situasi sulit itu, para ulama NU mengeluarkan Resolusi Jihad.
Sejumlah tokoh pesantren menjadi
menteri. Pada 1950, Menteri Agama Wahid Hasyim dan Menteri Pendidikan Bahder
Johan membuat nota kesepahaman dalam memadukan pendidikan Islam dengan
pendidikan nasional. Tokoh-tokoh pesantren menggagas berdirinya PTAIN yang
berkembang menjadi IAIN dan selanjutnya menjadi UIN.
Memadukan Islam dan Pancasila
Tokoh-tokoh Islam (KH Wahid
Hasyim, Agus Salim, dll) bersama tokoh pendukung Pancasila (Bung Karno, Bung
Hatta, dll) berjuang memadukan keislaman dan keindonesiaan. Diperlukan waktu 40
tahun untuk memadukan Islam dan Pancasila. Muktamar NU 1984 menyetujui Dokumen
Hubungan Islam dan Pancasila yang menyatakan bahwa Pancasila bukanlah agama dan
tidak dapat menggantikan agama. Tanpa peran pesantren, wajah mayoritas umat
Islam Indonesia mungkin akan sangat berbeda, tidak tawasuth (moderat) dan
tasamuh (toleran) seperti sekarang.
Affirmative Program
Jumlah pesantren di Indonesia kini
mencapai 28.000 pesantren dengan santri/murid hingga 4 juta orang. Kebanyakan
adalah pesantren kecil. Pada 1998, jumlah pesantren sekitar 8.000 pesantren.
Hal itu menunjukkan bahwa daya tarik pesantren sangat tinggi.
Lebih banyak madrasah yang
didirikan swasta. Dari sekitar 252.000 sekolah dan madrasah, hampir 40 persen
adalah sekolah swasta. Di luar SD, dari sekitar 122.000 sekolah dan madrasah,
hampir 80 persen adalah sekolah swasta. Ditambah fakta bahwa 40 persen dari 3
juta guru adalah guru swasta, hal itu menunjukkan bahwa peran swasta (sebagian
besar adalah pesantren) dalam pendidikan di Indonesia masih besar.
Namun, pesantren dan masyarakat
sekelilingnya di pedalaman (rural area) masih tertinggal dibanding mereka yang
di perkotaan. Perhatian pemerintah terhadap mereka masih kurang.
Diperlukan suatu affirmative
program untuk membantu pesantren, terutama yang kecil, agar bisa meningkatkan
diri dan masyarakat sekelilingnya sehingga mampu menghadapi tantangan zaman.
Hanya 7 persen pemuda usia kuliah yang hidup di pedalaman yang bisa ke
perguruan tinggi. Mereka tidak bisa kuliah di kota besar karena biaya
hidup/biaya kuliah mahal. Jumlah bangku kuliah tidak mencukupi. Perlu
pendidikan tinggi bagi rakyat kecil di pedalaman yang akan memberikan multiplier
effect tinggi.
* Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang
Sumber: JAWA POS, 15 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar