Laman

Senin, 13 Januari 2014

Maulid dan Pesan Antikorupsi



Oleh : Sumiati Anastasia* 

SETIAP 12 Rabiul Awal penanggalan Hijriah, umat Islam di seluruh dunia memperingati Maulid/Maulud Nabi. Tahun ini Maulid 1435 H bertepatan dengan 14 Januari 2014 Masehi. Sebagai bangsa yang gemar seremoni, semoga umat Islam terhindar dari peringatan Maulid yang sekadar seremonial atau ritual. Mari mencari pesan Maulid yang sungguh membawa perubahan signifikan bagi kehidupan personal atau berbangsa, khususnya pesan bagi pemberantasan korupsi.
Memang, kalau merenungkan praktik korupsi yang tetap marak, meski ada KPK, kita layak mengelus dada. Aparat penegak hukum dan keadilan justru menjadi bagian dari masalah korupsi sehingga persoalan itu makin rumit, ibarat benang basah kusut yang susah diurai.
Kadang kalau memikirkan dalam-dalam tentang korupsi ini, kita bisa menjadi apatis. Persis yang dialami wartawan kawakan asal Austria John Gunter yang menggugat keporakporandaan negaranya pasca-Perang Dunia Dunia II. Penulis Inside Europe itu mengungkapkan, ''Het volk is hopeloos, het land is reddeloos en de regeering raadeloos'' (Bangsa ini sungguh tidak punya harapan lagi, negerinya tidak lagi bisa diselamatkan dan pemerin­tahannya tidak punya ikhtiar apa-apa lagi). Kita juga punya gugatan serupa bagi negeri ini karena korupsi.
Persoalan korupsi makin menusuk nurani manakala kita kaitkan dengan praktik keagamaan kita. Sebagai negeri dengan mayoritas penduduk beragama, praktik korupsi seharusnya tidak kita lakukan. Namun, korupsi terus tambah marak. KPK yang bekerja keras menangkap para koruptor terus berhadapan dengan modus-modus baru para koruptor.
Konyolnya, sebagaimana diungkapkan cendekiawan muslim Prof Dr Komaruddin Hidayat, para koruptor justru amat doyan melakukan pemutihan atau pencucian dosa dengan pergi haji, mendirikan masjid, atau menyantuni anak yatim yang dananya diambilkan dari uang korupsi (mung­kin sepersekian persennya). Seolah semua tindakan korupsi itu bakal mendapat ampunan Tuhan. Inilah tafsir konyol para koruptor kita yang diistilahkan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus suka menyuap Tuhan tanpa takut kualat.
Kalau fenomena pemutihan atau pencucian dosa korupsi itu benar, berarti kebobrokan moral di negeri ini sungguh kian akut.

Kemunafikan

Memang, kalau merenungkan praktik korupsi yang tetap marak, kita layak mengelus dada. Aparat penegak hukum justru menjadi bagian dari masalah korupsi sehingga persoalan tersebut makin pelik. Apalagi mereka suka membuat topeng seolah hidupnya begitu religius. Misalnya, yang tampak dari pakaian atau simbol-simbol agama yang melekat di tubuh mereka.
Almarhum Gus Dur, sewaktu masih menjadi presiden, pernah merasa risi melihat polisi, jaksa, hakim, atau pengacara yang suka memakai simbol-simbol agama, sedangkan di institusi mereka korupsi justru tetap tinggi. Itu namanya kemunafikan.
Menurut budayawan dan wartawan senior Mochtar Lubis (almarhum), korupsi bersumber dari kemunafikan. Menurut dia, ''Kemunafikan mengisi rongga kepala, hati, jiwa, dan seluruh tubuh kita. Dalam hati kita tidak setuju, tetapi kita mengatakan setuju. Dalam hati kita mengutuk korupsi, tetapi kita berbuat korupsi. Dalam hati kita mengutuk penyalahgunaan kekuasaan, tetapi kita menyalahgunakan kekuasaan'' (Pembebasan Budaya-Budaya Kita, Gramedia, 1999, hal 14).
Memang, kita tidak boleh terlalu berharap bahwa pelaksanaan ritual keagamaan secara otomatis akan mengubah keadaan yang anomali menjadi normal. Ritual keagamaan tidak akan mempunyai ''tuah'' ampuh jika ia dilaksanakan tanpa penghayatan makna dan nilai filosofis dari ritual keagamaan oleh pelakunya. Lagi-lagi kita terjatuh dalam jebakan seremoni atau ritual rutin.
QS al-Jumu'ah: 5 menyimbolkannya dengan keledai yang memikul tumpukan kitab (kamatsalil himari yahmilu asfara). Simbolisasi itu mengekspresikan ketidakbermaknaan dan kesia-siaan aktivitas (unmeaningful). Selamanya kitab tidak akan memberikan manfaat kepada keledai. Sebab, keledai secara kodrati tidak diciptakan untuk membaca dan berpikir.
Nabi SAW sering memperingatkan umat dengan menunjuk kehancuran bangsa-bangsa terdahulu karena ketidakadilan yang mereka lakukan. Semoga kita sungguh sadar, korupsi jelas merupakan ketidakadilan besar. Dengan uang negara yang terus dirampok dan masuk kantong pribadi, kesempatan bagi anak-anak miskin yang menderita gizi buruk untuk mendapat asupan gizi cukup menjadi hilang. Karena dirampok koruptor, banyak anak miskin yang tidak bisa masuk ke perguruan tinggi yang biayanya kian mahal.
Memperingati Maulid Nabi itu boleh, asalkan menghadirkan rasa cinta, memuliakan Rasulullah, dan menimbulkan dampak positif. Karena itu, mari Maulid kali ini kita jadikan momentum untuk menggelorakan rasa cinta kepada Nabi dan ajaran mulia Islam, khususnya amar makruf nahi mungkar, dalam melawan gurita korupsi.

* Penulis adalah  Kolumnis dan Muslimah, Tinggal di Balikpapan
Sumber: JAWA POS,  13 Januari 2014           
                                                                                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar