Oleh : Sumiati Anastasia*
SETIAP 12 Rabiul Awal penanggalan
Hijriah, umat Islam di seluruh dunia memperingati Maulid/Maulud Nabi. Tahun ini
Maulid 1435 H bertepatan dengan 14 Januari 2014 Masehi. Sebagai bangsa yang
gemar seremoni, semoga umat Islam terhindar dari peringatan Maulid yang sekadar
seremonial atau ritual. Mari mencari pesan Maulid yang sungguh membawa
perubahan signifikan bagi kehidupan personal atau berbangsa, khususnya pesan
bagi pemberantasan korupsi.
Memang, kalau merenungkan praktik
korupsi yang tetap marak, meski ada KPK, kita layak mengelus dada. Aparat
penegak hukum dan keadilan justru menjadi bagian dari masalah korupsi sehingga
persoalan itu makin rumit, ibarat benang basah kusut yang susah diurai.
Kadang kalau memikirkan
dalam-dalam tentang korupsi ini, kita bisa menjadi apatis. Persis yang dialami
wartawan kawakan asal Austria John Gunter yang menggugat keporakporandaan
negaranya pasca-Perang Dunia Dunia II. Penulis Inside Europe itu mengungkapkan,
''Het volk is hopeloos, het land is reddeloos en de regeering raadeloos''
(Bangsa ini sungguh tidak punya harapan lagi, negerinya tidak lagi bisa
diselamatkan dan pemerintahannya tidak punya ikhtiar apa-apa lagi). Kita juga
punya gugatan serupa bagi negeri ini karena korupsi.
Persoalan korupsi makin menusuk
nurani manakala kita kaitkan dengan praktik keagamaan kita. Sebagai negeri
dengan mayoritas penduduk beragama, praktik korupsi seharusnya tidak kita
lakukan. Namun, korupsi terus tambah marak. KPK yang bekerja keras menangkap
para koruptor terus berhadapan dengan modus-modus baru para koruptor.
Konyolnya, sebagaimana
diungkapkan cendekiawan muslim Prof Dr Komaruddin Hidayat, para koruptor justru
amat doyan melakukan pemutihan atau pencucian dosa dengan pergi haji,
mendirikan masjid, atau menyantuni anak yatim yang dananya diambilkan dari uang
korupsi (mungkin sepersekian persennya). Seolah semua tindakan korupsi itu
bakal mendapat ampunan Tuhan. Inilah tafsir konyol para koruptor kita yang
diistilahkan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus suka menyuap Tuhan tanpa takut
kualat.
Kalau fenomena pemutihan atau
pencucian dosa korupsi itu benar, berarti kebobrokan moral di negeri ini
sungguh kian akut.
Kemunafikan
Memang, kalau merenungkan praktik
korupsi yang tetap marak, kita layak mengelus dada. Aparat penegak hukum justru
menjadi bagian dari masalah korupsi sehingga persoalan tersebut makin pelik.
Apalagi mereka suka membuat topeng seolah hidupnya begitu religius. Misalnya,
yang tampak dari pakaian atau simbol-simbol agama yang melekat di tubuh mereka.
Almarhum Gus Dur, sewaktu masih
menjadi presiden, pernah merasa risi melihat polisi, jaksa, hakim, atau
pengacara yang suka memakai simbol-simbol agama, sedangkan di institusi mereka
korupsi justru tetap tinggi. Itu namanya kemunafikan.
Menurut budayawan dan wartawan
senior Mochtar Lubis (almarhum), korupsi bersumber dari kemunafikan. Menurut
dia, ''Kemunafikan mengisi rongga kepala, hati, jiwa, dan seluruh tubuh kita.
Dalam hati kita tidak setuju, tetapi kita mengatakan setuju. Dalam hati kita
mengutuk korupsi, tetapi kita berbuat korupsi. Dalam hati kita mengutuk
penyalahgunaan kekuasaan, tetapi kita menyalahgunakan kekuasaan'' (Pembebasan
Budaya-Budaya Kita, Gramedia, 1999, hal 14).
Memang, kita tidak boleh terlalu
berharap bahwa pelaksanaan ritual keagamaan secara otomatis akan mengubah
keadaan yang anomali menjadi normal. Ritual keagamaan tidak akan mempunyai
''tuah'' ampuh jika ia dilaksanakan tanpa penghayatan makna dan nilai filosofis
dari ritual keagamaan oleh pelakunya. Lagi-lagi kita terjatuh dalam jebakan
seremoni atau ritual rutin.
QS al-Jumu'ah: 5 menyimbolkannya
dengan keledai yang memikul tumpukan kitab (kamatsalil himari yahmilu asfara).
Simbolisasi itu mengekspresikan ketidakbermaknaan dan kesia-siaan aktivitas
(unmeaningful). Selamanya kitab tidak akan memberikan manfaat kepada keledai.
Sebab, keledai secara kodrati tidak diciptakan untuk membaca dan berpikir.
Nabi SAW sering memperingatkan umat
dengan menunjuk kehancuran bangsa-bangsa terdahulu karena ketidakadilan yang
mereka lakukan. Semoga kita sungguh sadar, korupsi jelas merupakan
ketidakadilan besar. Dengan uang negara yang terus dirampok dan masuk kantong
pribadi, kesempatan bagi anak-anak miskin yang menderita gizi buruk untuk
mendapat asupan gizi cukup menjadi hilang. Karena dirampok koruptor, banyak
anak miskin yang tidak bisa masuk ke perguruan tinggi yang biayanya kian mahal.
Memperingati Maulid Nabi itu
boleh, asalkan menghadirkan rasa cinta, memuliakan Rasulullah, dan menimbulkan
dampak positif. Karena itu, mari Maulid kali ini kita jadikan momentum untuk
menggelorakan rasa cinta kepada Nabi dan ajaran mulia Islam, khususnya amar
makruf nahi mungkar, dalam melawan gurita korupsi.
* Penulis adalah Kolumnis dan Muslimah, Tinggal di Balikpapan
Sumber: JAWA POS, 13 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar