Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan Agus Santoso mengatakan Indonesia akan menegaskan
sikapnya soal anti pendanaan terorisme dalam sidang Financial Authority Task
Force (FATF), di Prancis pada 10 hingga 14 Februari 2014. Agus, yang menjadi
ketua delegasi, mengatakan Indonesia dianggap masih lemah dalam penanganan
pidana pendanaan terorisme sehingga masih masuk dalam public statement.
"Khususnya dianggap tidak
mematuhi rekomendasi FATF dalam tata cara penerapan pembekuan seketika
(freezing without delay) terhadap orang-orang yang namanya tercantum dalam list
resolusi Dewan Keamanan PBB no 1267 (UNSC 1267 list)," kata Agus, Minggu (9/2/2014).
Indonesia sebelumnya disebut
masuk dalam daftar hitam FATF karena dianggap belum melakukan pembekuan seketika
aset daftar nama yang masuk di UNSC list 1267. Akibatnya, Indonesia dan
beberapa negara lain seperti Pakistan masih ditempatkan dalam public statement
di sidang tersebut.
Agus mengatakan saat ini sudah
ada Undang-Undang nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme sebagai upaya menerapkan rekomendasi dan standar internasional untuk
mencegah pidana pendanaan terorisme.
Dengan berlakunya Undang-Undang
tersebut, setiap orang yang sengaja menyediakan, mengumpulkan, atau meminjamkan
dana baik langsung maupun tidak langsung untuk pendanaan terorisme, diancam
hukuman pidana penjara 15 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
"Aturan itu sudah di Implementasi oleh Indonesia," katanya.
Namun Agus mengatakan Indonesia
tidak bisa mengimplementasikan rekomendasi FATF yang mewajibkan pembekuan aset
milik nama-nama yang ada dalam list UNSC tersebut karena Indonesia merupakan
negara hukum. Berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Pendanaan Terorisme, kata
dia, pembekuan aset harus melalui proses pengadilan.
"Saya berharap dengan
Implementasi UU tersebut, FATF memutuskan agar Indonesia dikeluarkannya dari
Public Statement," katanya.
Sumber: Tempo.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar