Pada akhir 1949, Mantan Kapten KNIL (Pasukan
Kerajaan Belanda) Raymond Westerling yang juga mantan komandan Depot Speciale
Troepen (Pasukan Khusus) KNIL membentuk organisasi bernama Ratu Adil Persatuan
Indonesia (RAPI) dan memiliki kesatuan bersenjata yang disebut Angkatan Perang
Ratu Adil (APRA). Milisi ini kebanyakan terdiri dari mantan anggota KNIL yang
melakukan desersi dari pasukan khusus Regiment Speciale Troepen (RST).
Tujuan Westerling adalah mengganggu prosesi
pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia
Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya itu dihalangi oleh Letnan Jenderal
Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda. Tak berhenti di situ,
pada Kamis 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat ultimatum kepada
pemerintah RIS yang berisi tuntutan agar Pemerintah RIS menghargai
negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan, mengakui APRA sebagai tentara
Pasundan. Apabila tidak ada jawaban positif dalam waktu 7 hari, maka Westerling
akan mengobarkan perang.
Hingga akhirnya pada 23 Januari 1950, pasukan
APRA memasuki kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI (Tentara Nasional
Indonesia) yang mereka temui. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut.
Selain di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST yang dipimpin oleh Sersan
Meijer menuju Jakarta untuk menangkap Presiden Soekarno dan menduduki
gedung-gedung pemerintahan. Namun serangan itu gagal lantaran dukungan dari
pasukan KNIL lain dan Tentara Islam Indonesia (TII) seperti yang diharapkan
Westerling tidak muncul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar