Oleh: Agus Wibowo*
BANYAK sekolah kita tiba-tiba
`melorot' dari segi mutu dan kua litas, bahkan mengalami nasib apes harus
gulung tikar. Pada tahun ajaran 2013, sudah beberapa sekolah baik negeri maupun
swasta di Bali, Surabaya, Jawa Tengah, dan Bekasi tidak lagi beroperasi. Banyak
kasus sekolah, yang semula diincar konsumen lantaran unggul dan jaminan
kualitas, menjadi jatuh terpuruk dan sepi peminat. Sebaliknya sekolah yang
semula hanya biasa-biasa saja berubah menjadi idola dan diminati masyarakat
(Media Indonesia, 11/7/2013).
Fenomena yang terjadi di sebagian
besar sekolah kita ternyata bukan disebabkan sumber daya dan fasilitas yang
minim. Benar sumber daya manusia (SDM) dan saranaprasarana terkadang menjadi
momok ketidakberhasilan sekolah. Namun, problem mendasarnya ternyata manajemen
sekolah, terutama peran kepala sekolah yang tidak profesional. Sebetulnya figur
kepala sekolah seperti apa yang relevan dengan sekolah kita saat ini? Apa saja
peran penting yang harus dimainkannya agar manajemen sekolah bisa berhasil?
Kepala sekolah memang aktor utama
penggerak manajemen sekolah. Ahli manajemen seperti Davar Rezania & Mike
Henry (2010); Schuler & Susan E Jackson (1997); dan Castetter (1996)
sepakat dengan itu. Bahkan, menurut Husaini Usman (2013), pada kondisi budaya
kita yang masih cenderung paternalistis, peran kepala sekolah sangat dominan.
Penelitian Husaini Usman (2009) sampai pada kesimpulan bahwa meski semua
komponen manajemen bagus, bila kepala sekolahnya buruk, bisa dipastikan
manajemen sekolah tidak efektif. Tidak ada sekolah yang unggul dipimpin oleh
kepala sekolah yang tidak unggul. Kenyataan di lapangan, lanjut Husaini Usman,
menunjukkan bahwa sekolah yang hebat dipimpin oleh kepala sekolah yang hebat
pula.
Selera penguasa?
Sayangnya, di era otonomi daerah
saat ini, kompetensi tidak menjadi dasar utama pengangkatan kepala sekolah.
Apalagi dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2005, pemerintah
kabupaten/kota memiliki kewenangan penuh dalam pengangkatan kepala sekolah.
Sebagaimana kepala dinas
pendidikan, tulis Suyanto (2010), jabatan kepala sekolah--negeri
terutama--lebih sering bersinggungan dengan aspek politis. Kedekatan de ngan
kepala daerah/wali kota, kepala dinas di dinas pendidikan, atau seksi mapenda
di Kementerian Agama menjadi semacam `kartu sakti' untuk menjadi kepala
sekolah.
Mereka yang pandai `mengambil
hati' dan berada dalam barisan--tim sukses--pemenangan bupati/wali kota akan
dengan mudah diangkat menjadi kepala sekolah meski dengan kompetensi minim.
Sementara itu, kalangan
profesional yang jauh dengan kekuasaan jangan berharap lebih. Benar ada kepala
sekolah yang dipilih secara profesional, tapi jumlahnya minim, bahkan bisa
dihitung dengan jari.
Senada dengan Suyanto, Tatang S
Iskandar (2010) sampai pada kesimpulan bahwa jabatan kepala sekolah menjadi
salah satu aset politik untuk melanggengkan kekuasaan. Itulah sebabnya proses
pengangkatan kepala sekolah tidak dilaksanakan berdasarkan sekuensial yang
baku, melainkan bergantung pada selera dan kemauan penguasa. Fenomena demikian
juga diakui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam kongres PGRI Juli
2013, Presiden juga mengaku mendapat pengaduan mengenai pemanfaatan kepala
sekolah dan guru sebagai alat berpolitik dalam pemilihan kepala daerah (Media
Indonesia, 4/7/2013).
Ketika mekanisme pengangkatan
kepala sekolah sudah dipengaruhi aspek politis, wajar jika Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 dan Nomor 28 Tahun 2010 tidak efektif.
Manajemen berbasis sekolah, yang mestinya mengutamakan prinsip partisipasi
masyarakat, kemandirian, keluwesan, transparansi, efektivitas, efi siensi, dan
akuntabilitas menjadi slogan semata. Masyarakat hanya sebagai pelengkap karena
keputusan sudah digariskan secara komando oleh atasan.
Kepala sekolah selalu merasa
tidak nyaman dalam melaksanakan tugas karena sewaktu-waktu bisa saja diganti.
Ia akan berusaha untuk terus menyenangkan penguasa yang mengangkatnya agar
tidak dipecat di tengah jalan. Di sisi lain, ada semacam politik balas budi dan
balas dendam dari para penguasa. Guru yang minim kompetensi karena menjadi tim
sukses diangkat sebagai kepala sekolah. Akibat fenomena tersebut, yang
berkembang kemudian guru berpikir politis, sedangkan tugas utama mendidik dan
mencerahkan anak bangsa di sekolah diabaikan. Ironis!
Maka untuk menjamin tersedianya
kepala sekolah dan guru yang baik, Kemendikbud akan mensyaratkan calon kepala
sekolah harus kompeten dan memiliki leadership. Menurut Wakil Mendikbud Musliar
Kasim (2013), hal itu menjadi penting agar kepala sekolah tidak didominasi para
tim sukses bupati, wali kota, atau gubernur tertentu.
Utamakan kompetensi
Demi pendidikan anak bangsa ke
depan, mestinya para penguasa berpikir ulang. Mereka tidak boleh gegabah dalam
mengangkat atau memberhentikan kepala sekolah. Jika terpaksa melakukan politik
balas budi, pertimbangan kompetensi tetap diutamakan. Jabatan kepala sekolah
mestinya tidak diserahkan kepada sembarang orang.
Menurut Wuradji (2009:95), kepala
sekolah tidak sekadar menjadi pemimpin dan manajer sekolah yang andal, tetapi
juga harus mampu mengembangkan kurikulum dan pembelajaran. Sebagai seorang
pemimpin, ia harus mampu memengaruhi guru, staf, dan semua warga sekolah, untuk
mengikuti dan menjalankan arahannya dalam menjalankan tugas pengelolaan sekolah
yang telah ditetapkan bersama. Singkatnya, dia harus menjadi motor efektif
penggerak bagi sumber daya yang ada di sekolah.
Peran sebagai manajer
mengharuskan kepala sekolah mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen,
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. Kepala
sekolah harus mampu membangun jiwa kolegialitas di antara para guru, membangun
mitra kerja dengan orangtua/ masyarakat; mengembangkan nilai-nilai positif
untuk maju dan bekerja keras, dan menggerakkan sumber daya organisasi ke arah
pencapaian tujuan sekolah.
Peran kepala sekolah sebagai
pengembang kurikulum harus diupayakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
yang meliputi penyusunan program, metode, dan evaluasi pembelajaran yang
direkomendasikan kepada guru untuk dilaksanakan dalam proses belajar mengajar
di kelas. Selain itu, kepala sekolah juga dapat melakukan supervisi dan
evaluasi pembelajaran bersama-sama dengan guru secara rutin untuk mengembangkan
dan meningkatkan kualitas dan kuantitas pembelajaran, serta memantau
perkembangan hasil belajar peserta didik.
Tidak kalah pentingnya, kepala
sekolah harus menjadi motivator ulung bagi para guru dan bawahannya. Motivasi
dapat diartikan sebagai tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya
tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu (Morgan, 1986). Dengan adanya
motivasi tersebut, diharapkan mereka yang diberi tugas akan berbuat sebaik
mungkin demi tercapainya tujuan sekolah.
Di sisi lain, keteladanan menjadi
penting. Kepala sekolah, guru, dan staf harus berpegang pada prinsip
konsistensi dalam kata, sikap, dan perbuatan. Akhirnya, kita tidak ingin
semakin banyak sekolah yang mutunya jatuh terpuruk apalagi sampai gulung tikar.
Kuncinya ada di kepala sekolah yang profesional, bukan semata-mata mengutamakan
kepentingan politik praktis.
*Penulis adalah pemerhati dan
Magister Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: MEDIA INDONESIA, 06 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar